Rabu, 17 April 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 9: Persiapan untuk Musim Dingin

 Volume 01

Chapter 9: Persiapan untuk Musim Dingin



Tadinya aku ingin langsung mulai membuat kertas papyrus karena batang yang diperlukan sudah ada, namun sayangnya, urusan hidup mencegah itu.

“Kamu mau pergi kemana, Myne? Bukankah Ibu sudah bilang hari ini kita akan mulai persiapan kita untuk musim dingin nanti?”

Tepat saat aku mau menjauh dan pergi ke sumur untuk mengambil serat dari batang-batang tanaman kemarin, Ibu memegangi baju bagian belakangku membuat aku tidak bisa melanjutkan jalan. Rupanya, kami akan terkunci di dalam rumah selama salju turun dan kami harus sekali mempersiapkan diri untuk bertahan hidup selama musim dingin panjang nanti.

Tapi apa yang bisa aku bantu? Sedangkan aku ini tak berguna? Mau aku cari sejauh mungkin dalam ingatan Myne, yang aku temukan hanyalah waktu-waktu dia terkena demam dan berleha-leha tak jelas, jadi orang yang tak berguna.

Ungkapan intinya: Aku ini benar-benar tak berguna. Usaha terbaik yang bisa aku lakukan adalah tak terkena demam dan menghabisi waktu luang di atas kasur.

“Myne, hari ini kamu bantu Ayah ya. Ayo.”
“Ayah tidak kerja?”
“Ayah ambil cuti. Kami para pekerja akan mengambil giliran waktu cuti agar masing-masing dari kami bisa menyelesaikan persiapkan musim dingin, iya kan?”

Wow... tempat kerja mereka cukup baik dengan memberi mereka waktu cuti semasa persiapan musim dingin? Aku tidak mengira dapat melihat ada manfaat seperti itu dalam bekerja di dunia ini. Atau mungkin memang karena persiapan musim dingin itu akan sulit dicapai penyelesaiannya apabila tanpa ada bantuan dari seorang pria di masing-masing keluarga?

Apapun itu, jarang sekali Ayah yang sedang ada di rumah dan aku bisa bekerja sama dengannya. Mungkin ada yang mengirakan ini karena dia kerja sebagai prajurit gerbang, soal dia itu punya tubuh kuat dan bugar, yang membuatnya lebih sering meminta bantuan dari Tuuli karena dia dan Ayah bisa saling bertukar posisi tanpa ada rasa kekhawatiran dari Ayah soal terjadinya kesalahan.

Karena semua anggota keluargaku lengkap, rasanya tidak bisa aku lari dari semua ini, dan karena Ayah secara khusus minta bantuan dariku, aku tidak punya pilihan untuk menolak jadi aku ikuti apa yang dimintanya.

“... Kita mau apa?”

Ayah jawab dalam keadaan jongkok menghadap ke jendela, dia seperti sedang memilih mau perkakas tukang kayu yang mana.

“Hari ini kita akan periksa rumah, apa ada yang perlu dibenarkan atau tidak. Pintu jendela harus terkunci rapat selama badai salju terjadi, jadi kita harus periksa apa kuncinya terpasang rapat atau mungkin berkarat tidak. Sekalian kita periksa juga apa jendelanya berlubang atau tidak. Setelah kita membenarkan jendela, kita akan bersihkan cerobong asap dan tungku memasak agar nanti bisa kita gunakan selama musim dingin berlangsung.”

Um, Ayah....? Apa yang Ayah harapkan dari tangan kecil dan lemah ini yang tidak bisa menahan lama bawa barang apapun atau bahkan itu termasuk obeng? Aku mengerti sekali ini adalah hal yang perlu kami lakukan, tapi meski begitu, aku tidak merasa bisa berguna untuk membantu semua itu.

Tapi mungkin saja jika aku berusaha membantu sekeras mungkin dan menunjukkan bahwa aku ini cukup membantu, mungkin saja tingkat kepercayaan keluargaku pada aku akan bertambah sedikit. Suatu hal yang mudah untuk menemukan engsel yang berkarat atau akan segera lepas dari tempatnya, karena aku bisa gunakan pengetahuan zaman modernku.

“Ayah, engsel dan paku penahannya itu berkarat.”
“Itu masih kuat.”

Um, aku cukup yakin kedua benda itu dalam keadaan yang benar-benar bobrok? Malah sudah mau hancur. Aku pikirkan baik-baik apa sebaiknya aku percaya Ayah atau tidak. Nantinya akan jadi masalah besar jika pintu jendela yang fungsinya untuk menahan angin dan salju masuk saat badai terjadi malah rusak ditengah-tengah musim dingin berlangsung.

Aku berdiri di atas kursi dan coba aku guncangkan pintu jendela itu sedikit. Jika tidak terjadi apa-apa, aku bisa percaya Ayah, tapi jika nyatanya hancur, maka dia harusnya sadar untuk lebih mempercayaiku. Setelah aku guncangkan sedikit berkali-kali, engsel jendela segera hancur terbagi dua.

Aku mengangguk pada diriku sendiri karena inilah yang sudah aku kira akan terjadi, tapi wajah Ayah mulai memucat dan melihat dengan mata melotot pada pintu jendela yang aku guncangkan tadi.

“M-Myne, kenapa kau lakukan itu?!”
“Ini lihat? Hancur. Aku sudah bilang engsel ini tak akan bertahan lama selama musim dingin. Jadi, Ayah. Perbaiki ini.”

Aku menunjuk ke pintu jendela, sedangkan Ayah menurunkan aku dari kursi mengabaikan salah ambil keputusannya tadi. Dia bahkan menyuarkan suara mengeluh.

“Myne, sana bantu Effa.”
“Huh? Aku kan sedang membantumu, Ayah. Kita kan perlu pastikan semua engsel yang ada di rumah kita tetap aman selama musim dingin nanti, tapi kenapa Ayah malah mengabaikan engsel yang sudah jelas rusak.” Aku mengangkat bahuku dan menggeleng-gelengkan kepala.

Ibu minta aku bantu Ayah, jadi aku penuhi itu. Semua itu aku lakukan agar aku bisa menjalani hidup senyaman mungkin selama musim dingin nanti.

“Kita tidak punya uang untuk membenarkan semua yang ada di rumah, yang ada nanti kamu rusak semuanya. Sudah, kamu bantu Effa saja.”

... Astagaaaaa! Kena masalah keuangan lagi! Aku tadi, baru saja menghancurkan satu engsel yang Ayah coba pertahankan untuk sedikit waktu yang lebih lama, aku dengan taat turuti arahannya dan segera pergi ke kamar tidur tempat dimana Ibu dan Tuuli melakukan persiapan untuk musim dingin.

Mereka sedang menjemur selimut dan seprei agar lebih nyaman digunakan, kasur yang semulanya di tengah pindah ke sisi tembok yang di seberang tembok itu ada tungku memasak, itu dilakukan agar waktu malam nanti kami bisa merasa lebih hangat ketika tidur dan kamar ini juga dibuat lebih layak huni untuk musim dingin nanti.

“Ada apa, Myne?”
“Ayah bilang aku bantu Ibu saja....”
“Sungguh? Kami baru saja selesai beres-beres di sini, sebentar lagi kami akan membuat penerangan untuk rumah kita nanti. Tahun ini kita cukup beruntung dapat sisa sarang lebah lebih banyak dari biasanya. Kita juga akan gunakan gajih sapi dan minyak dari buah-buahan untuk membuat lilin lampu dan lampu minyak tanah.”

Semua yang mereka lakukan terdengar cukup susah aku lakukan. Aku sudah sering mencium bau tidak sedap dari lemak atau gajih hewani yang tersebar di sekitar rumah tetangga, meski hanya berhari-hari aku menghirup bau itu sudah membuat aku kepikiran bau tak sedap yang sama tapi akan bersumber dari dapur rumahku sendiri, aku merasa tidak senang soal itu.

Tuuli memulai pengekstrakan minyak dari buah-buahan, karena aku terlalu lemah untuk mengayunkan palu itu dengan baik, aku tak punya ruang untuk membantu. Aku hanya bisa diam disebelah Ibu dan menyaksikan dia sedang memasukkan gajih sapi kedalam panci besar kemudian dia nyalakan tungku.

... Bau! Bau sekali! Wahai diriku, bertahanlah. Padahal baunya ini sangat tidak sedap sampai-sampai aku sulit untuk bernafas, tapi Ibu malah dengan mudahnya melanjutkan proses peleburan gajih sapi itu dan mulai mengambil sisa gajih yang mengambang di atas air dalam panci. Aku cukup terkesan, namun, hanya itu saja yang dia lakukan dan tak lama kemudian selesailah dia melakukan itu.

“Eh, Ibu. Cuma itu saja? Tidak akan dikasih (garam bumbu)?”
“Hm? Proses apa?”

Oh tidak. Aku rasa ini hal yang umum, tapi kenapa (garam bumbu) tidak diterjemahkan?

Ibu melirikku dengan mata sinis yang bermakna “Kamu mau protes apa?” tapi aku hadapi rasa takutku dan coba aku jelaskan proses pengasinan dengan terminologi sesederhana mungkin.

“Ummm, agar yang kotor-kotornya banyak diambil, Ibu tambahkan air garam dan didihkan lagi sebentar.”
“Air asin?”
“Iyah. Nanti kalau dibiarkan sebentar, minyaknya akan mengeras di atas dan air garam akan tetap berada di bawahnya, kan? Airnya bisa dibuang nanti dan kita bisa ambil minyaknya saja. Mungkin kesannya tambah kerjaan, tapi minyak yang kita dapatkan akan punya aroma baik dan berkualitas tinggi.”

Sepertinya setelah mendengar kata “berkualitas tinggi”, Ibu mulai memasukkan garam ke dalam panci.

Kualitas minyak yang kami buat disini menjadi pertaruhan hidup dan mati bagiku. Karena kami akan gunakan ini dalam ruang tertutup. Aku tak akan bisa bertahan di rumah bau selama musim dingin. Tapi ya.... alu tidak bisa memberitahu dia rasio garam yang tepat untuk menghasilkan minyak berkualitas baik, tapi harusnya minyak yang dihasilkan ini sudah lebih baik.

Kami gunakan rasio asal-asalan untuk sekarang, tapi berkat sudah diberi garam, minyak dari gajih ini berubah jadi putih yang tadinya berwarna kuning. Gajih ini kami potong-potong, ada yang kami jadikan lilin lampu dan ada yang dijadikan sabun buat musim semi. Untuk pembuatan lilin lampu, kami didihkan kembali gajih itu di dalam panci agar jadi cair lagi.

Sebagai capaian tambahan, daging sapi yang berhasil dipisahkan dalam proses pengambilan minyak tadi kami gunakan sebagai bahan dasar membuat sup. Lezat sekali.

Setelah selesai makan siang, kami lanjut membuat lilin lampu.

“Nah, Tuuli. Kamu sekarang buat lilin lampu. Gunther dan aku akan cek persediaan kayu bakar.”
“Baiiik.”

Eh bentar.... Aku kerja apa? Mereka bertiga mulai bergerak dan mengerjakan tugas mereka, jadi setelah aku pikirkan sejenak, aku ikuti Ibu sampai pintu depan. Mungkin ini termasuk dari “bantulah ibumu”.

Tapi setelah sadar aku mengikutinya, Ibu memberitahuku untuk kembali masuk ke rumah.

“Myne, bantu Tuuli buat lilin lampu. Jangan sampai menyusahkan dia ya.”
“... Baik.”

Hadeh, mengapa minim sekali rasa percaya mereka padaku?

Aku kembali lagi ke dapur dan melihat Tuuli sedang memotong benang dengan panjang yang sama, dia pasangkan dalam keadaan menggantung benang-benang itu ke tongkat ramping dan kecil. Lalu dia ambil dan pegang tongkat itu di atas panci isi gajih tadi, dengan begini banangnya akan menggantung dan lurus kebawah, kemudian dia naik turunkan tangannya. Dia lakukan itu sampai gajih lemak menempel dan menumpuk di benang tersebut, tak lama kemudian gajih lemak itu mengeras dan terbentuklah lilin lampu.

“Wow, begitu caranya lilin lampu dibuat.”
“Jangan menonton saja, Myne! Ayo bantu!”

Tuuli marah padaku, agar bisa membantu, jadi aku ambil tanaman herbal untuk menangkal bau yang aku pasangkan pada lilin yang sebentar lagi mengeras. Jika berhasil, aku akan menambah jumlah lilin yang aku pasangi tanaman herbal ini.

“Myne! Jangan main-main!”
“Hanya setongkat lilin ini saja, boleh tidak? Tuuli pastinya mau lilin yang tidak berbau tak sedap, kan? Aku mohon Tuuli.”
“Hanya setongkat ini saja ya, mengerti?”

Tuuli sampai berkata itu, jadi aku balas dengan anggukan besar.

Aku masih kurang tahu ini akan berhasil atau tidak, jadi sedari awal aku tidak berniat mengacaukan semuanya. Aku gunakan tanaman herbal yang berbeda untuk setiap lilin, demi mencari tahu mana aroma tanaman yang cocok.

Selama aku dan Tuuli membuat lilin lampu, orang tua kami sedang mempersiapkan persediaan kayu bakar. Tanpa kayu bakar sudah dipastikan kami akan mati kedinginan, memastikan kesediaan itu sangatlah penting. Ayah mengumpulkan kayu bakar yang dibawa Tuuli serta kayu bakar dengan yang kami beli dan dia gunakan kapak untuk memotong kayu-kayu itu dengan ukuran lima puluh sentimeter. Sedangkan Ibu mengambil kayu yang sudah dipotong itu dan menyimpannya di ruang penyimpanan musim dingin.

“Ibu mau simpan itu dimana?”

Aku kaget melihat Ibu pergi ke ruangan yang belum aku ketahui sebelumnya, padahal aku pernah ikut ke ruang penyimpanan bersamanya. Ini merupakan berita baru bagiku, tapi rupanya ada ruang terpisah dalam ruang penyimpanan. Ternyata ini lebih sering difungsikan untuk penyimpanan khusus selama musim dingin. Hampir setengah ruangan ini sudah terisi dengan kayu bakar.

“Huh? Aku tidak tahu ada ruang ini.”
“Ini ruang penyimpanan musim dingin kita, kamu lupa? Kok kamu bisa lupa ini, Myne?”

Sehubungan dengan ini, aku penasaran sekali soal kayu bakar yang dibawa Tuuli setiap kali dia kembali dari hutan. Sekarang aku tahu tempatnya. Karena kayu yang biasanya kami gunakan ada di ruang penyimpanan biasanya, aku tidak pernah sadar ada ruangan lain di dalam sana.

“... Dingin ya.”
“Iya, memang dingin. Karena ruangan ini berjauhan dengan tungku rumah kita.”

Rumah kami tak punya tempat mewah seperti perapian khusus, jadi sumber api yang ada di rumah, sudah rangkap jadi tungku dan tempat menghangatkan rumah kami. Kemungkinan kami akan menghabiskan waktu seharian di sana.

Dan sekarang, kasur kami sudah didekatkan dengan tembok yang memisahkan dapur dan kamar tidur. Selama ada api menyala dari sana, yang nanti menyala saat kami anak-anak sedang tidur, terasa cukup hangat.

Tapi rasa hangat itu hanya kami rasakan sampai kami tertidur. Ibu nanti akan mematikan api di tungku sebelum dia tidur, begitu kami bangun dipagi hari rasanya cukup dingin. Berbeda dengan kamar tidur, ruang penyimpanan musim dingin ada di tempat yang paling jauh dari tempat tungku berada, jadi di sana sangat dingin.

Itu adalah tempat yang sempurna untuk menyimpan makanan, minyak, dan kebutuhan lainnya yang sudah diawetkan agar bisa bertahan selama musim dingin. Dengan kata lain, itu jadi ruang pendingin alami dan kami tidak mau tempat itu terkena sumber panas.

“Ada banyak sekali kayu bakar di sini.”
“Iya, tapi ini masih kurang dari cukup.”

Sudah setengah ruangan ini terpenuhi dan masih kurang? Aku lihat seisi ruang penyimpanan musim dingin ini yang dipenuhi dengan kayu bakar dan kata “deforestasi” terlintas di benakku. Jika satu keluarga sudah memakan jumlah kayu sebanyak ini, sebanyak apa jumlah kayu yang diperlukan bagi semua keluarga kota ini?

“Myne, jangan bengong terus, waktunya persiapkan apa saja yang diperlukan untuk membuat kerajinan musim dingin kita.”

“Aku tidak bengong!”

Aku balas dengan kesal, tapi Ibu sudah mau sampai lagi ke dapur. Aku segera mengejarnya. Aku tidak mau ditinggal sendiri di ruang gelap tanpa jendela ini.

“Ibu, kita mau buat kerajinan musim dingin apa?”
“Soal itu. Kurasa, para pria akan memperbaiki alat yang mereka pakai untuk kerja? Kalau kita mau membuat baru alat atau perabot rumah, kita harus kumpulkan bahan-bahannya terlebih dahulu.”
“Jadi ini semacam kesibukan yang kita lalui selama musim dingin berlangsung?”

Ibu mengangguk sambil menghitung jumlah gulungan benang yang kami miliki di rumah.

“Kamu benar. Sedangkan bagi wanita, penting sekali untuk kita membuat baju. Kita tak akan menyelesaikan itu tanpa menyiapkan benang dan kain yang sudah diwarnai, dan itu harus dilakukan lebih awal. Ibu sudah warnai kainnya karena itu adalah pekerjaan Ibu, tapi kita masih harus menyiapkan benang dan serat rumputnya yang mirip seperti nillen, nanti itu bakal kita tenun tahun depan.”
“Huh.”
“Bukan hanya itu, musim panas selanjutnya Tuuli akan dibaptis. Ibu harus menyiapkan pakaian spesial untuknya selama musim dingin nanti.”

Ibu memperhatikan semua itu dengan mata yang serius, agar pasti tidak ada yang terlewatkan.

Aku punya perasaan tidak akan bisa membantu Ibu apapun, jadi aku kembali ke tempat Tuuli berada.

“Kerajinan musim dingin apa yang akan kamu buat, Tuuli?”
“Aku akan menganyam keranjang kecil. Nanti bisa kita jual saat musim semi tiba.”

Tuuli sedang mempersiapkan bahan-bahan yang dia perlukan untuk membuat keranjang kecilnya, karena itu yang akan dia buat selama musim dingin nanti. Sekarang dia sedang membersihkan bagian kulit kasar kayu yang dia kumpulkan dari hutan kemudian dia kupas atau. Lalu dia gunakan pisaunya untuk membagi-bagi kayu itu sesuai dengan jalur serat kayu.

“Nanti kamu mau buat apa, Myne?”
“Aku mau buat (kertas papyrus)!”
“Buat apa?”
“Ehehehe. Masih, jadi, rahasia.”

Aku ikuti proses yang dilakukan Tuuli dan mulai memisahkan serat yang aku perlukan untuk membuat kerajinan musim dinginku: untuk membuat kertas papyrus. Ini adalah tugas penting untukku. Suatu tugas hormat yang tak akan melibatkan amarah dari orang lain jika melihat aku melaksanakan ini.

Agar seratnya dapat lepas, aku cukup lakukan apa yang dilakukan Tuuli tadi, mungkin begitu. Kupas kulit luarnya, rendam dalam air, lalu keringkan. Persiapan musim dingin dilakukan sebelum Tuuli dan anak-anak lain dapat mengumpulkan banyak ranting pohon, jadi aku rasa akan ambil semua ranting pohon yang ada.

“Tuuli, aku butuh air untuk ini.”
“... Oke.”
“Tuuli, kira-kira bagaimana caranya agar aku bisa dapatkan serat dari ranting pohon ini.”
“Huh? Umm....”
“Tuuli, seratnya tidak akan kebawa angin kan kalau misalnya aku jemur didekat jendela?”
“........”

Aku kumpulkan semua serat yang lurus. Jumlahnya tak banyak, tapi seharusnya cukup untuk membuat satu atau dua kertas papyrus. Dengan begini, persiapan musim dinginku sudah hampir selesai.

Whew. Aku sudah bekerja keras. Eh, tunggu? Apa hanya perasaan aku saja gitu? Tuuli terlihat kesal.



PREVIOUS CHAPTER     ToC    NEXT CHAPTER


TLBajatsu

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 8: Belajar dari Budaya Mesir

 Volume 01

Chapter 8: Belajar dari Budaya Mesir



Sekarang, menanggapi tekad besarku dalam pembuatan buku apa pun caranya, aku tidak bisa mendapatkan kertas. Jiwa rakyat Jepang dalam diriku memberi saran bahwa aku bisa pergi ke department store dan belilah lima ratus lembar kertas dengan harga dua ratus yen, tapi sayangnya dalam dunia ini, jatah utuh gaji satu bulan punya Ayahku akan hangus begitu digunakan untuk membeli satu lembar perkamen.

Dalam proses membuat selembar perkamen, perlu orang yang menguliti kulit binatang, membersihkan bulu binatang tersebut dari kulitnya, dan terakhir memotong kulit binatang itu jadi persegi agar mudah digunakan. Selembar perkamen yang aku lihat di tempat kerja Ayah punya ukuran kertas A4. Mau sekecil apapun aku bagi, jumlah lembar yang bisa aku dapatkan dari pembagian itu paling-paling lima sampai delapan lembar saja.

Dengan kata lain, perkamen yang ada sangatlah mahal harganya bagi rakyat miskin seperti diriku ini dan tidak mungkin bagi diriku ini untuk mendapatkan jumlah yang cukup agar bisa jadi satu buku. Untuk meluruskan masalah ini: Sebelum aku bisa membuat buku, maka aku perlu belajar cara membuat kertas. Tapi ilmu yang aku miliki dalam pembuatan buku hanya sebatas pengalaman mendaur ulang kertas dari bungkus susu. Sisanya hanya baca dari buku.

Pastinya ada orang-orang yang mengira akan cukup belajar dari baca buku saja untuk membuat sesuatu, benar bukan? Tapi coba pikirkan itu baik-baik, maka mereka akan sadar bahwa hal itu tidak semudah yang mereka kira.

Sejauh yang aku ketahui, tidak ada mesin pembuat kertas di dunia ini. Tanpa mesin itu, aku harus melakukan proses pembuatan kertas pakai tangan langsung. Sedangkan aku ini gadis kecil yang sakitan dan punya kekuatan anak berumur tiga tahun. Ada sedikit sekali proses yang bisa aku lakukan sendiri. Langkah pertama yang penting dalam pembuatan kertas adalah tahu jenis kayu, dan langkah itu saja sudah terbukti berat bagiku.

Kesimpulannya: Itu hal yang tidak mungkin untukku. Tapi masih terlalu awal untuk menyerah sekarang.

Pencatatan cukup penting baik untuk ekonomi dan politik, bumi punya catatan sejarah yang sangat luas. Sejarah tercatat dan tersimpan dalam ribuan tahun, tapi masih belum lama ini manusia baru mengembangkan mesin untuk pembuatan kertas. Singkatnya, semakin aku melihat ke sejarah, maka akan memungkinkan untuk aku membuat ulang cara penulisan sejarah yang dilakukan pada zaman itu.

Mmm... apa yang dilakukan peradaban tanpa mesin menuliskan sejarah mereka...? Aku lebarkan telapak tanganku selebarnya dan meliriknya. Peradaban zaman kuno, peradaban zaman kuno... pasti kalau membahas zaman kuno maka akan aneh bila tidak ambil peradaban Mesir sebagai contohnya! Membahas peradaban Mesir kurang lengkap bila tidak menyebut papyrus! Hidup zaman Mesir!

Menyambungkan poin-poin itu dalam ingatanku, aku sadar bisa membuat kertas papyrus yang ada di zaman Mesir. Di kalangan sosial itu dihadirkan kembali dalam bentuk teknologi terbaru dan sesuai dengan zamanku, jadi mungkin saja dengan tangan kecilku ini bisa aku buat.

Itu terbuat dari semacam tanaman.... aku tidak yakin jenisnya, tapi aku rasa bisa yang mana saja, karena, itu terbuat dari serat lurus yang ada di batang kayu atau batang basah... atau semacamnya.


Dunia ini punya tanaman sejenis itu. Aku yakin jika aku pergi ke hutan, pasti di sana ada banyak sekali tanaman yang cocok untuk membuat kertas.

... Oke, jadinya hutan. Ayo pergi ke hutan. Aku adalah wanita yang dapat rasa hormat dan juga keluhan dari keluarga dan teman-temanku atas kelincahan yang aku miliki begitu ada suatu urusan yang menyangkut buku. Aku segera bertindak begitu ada pikiran muncul di kepala.

Kalau soal ini, aku langsung meminta bantuan pada Tuuli agar aku bisa ikut bersamanya ke hutan.

“Tuuli, aku ingin pergi ke hutan juga. Boleh tidak aku iku---”
“Eh?! Myne, mau apa? Mustahil.”

Dia menolak keinginanku sebelum aku selesai ucapkan. Dari reaksi cepatnya punya arti dia tidak perlu pikir panjang untuk memberi jawaban padaku. Lalu dari nada dia bicara “mustahil” sudah memberi aku semacam ketegasan bahwa dia tidak akan berpikir ulang lagi meski aku coba yakinkan dia. Aduh.

“Kenapa mustahil?”
“Kamu kan tidak bisa jalan jauh-jauh? Jadi mustahil bagimu bisa jalan sampai ke hutan kalau misalnya jalan sampai gerbang saja tidak bisa. Selain itu begitu kita sampai di hutan, kita harus kembali dengan membawa kayu bakar dan buah-buahan yang kita ambil di sana. Selama itu, tidak ada waktu untuk istirahat. Bukan hanya itu, kamu juga tidak bisa memanjat pohon di sana. Apa kamu bisa jalan sampai rumah dalam keadaan membawa banyak barang yang akan melelahkanmu? Kita harus sekali kembali sebelum jam gerbang ditutup, kamu tidak bisa berhenti sejenak dan beristirahat dalam waktu lelahmu. Sudah mengerti? Jadi mustahil bagimu bisa ke hutan.”

Tuuli mengutarakan satu per satu, dia sebutkan semua alasan aku tidak bisa pergi ke hutan, dia lakukan itu sambil berhitung di jari. Ada banyak sekali alasan yang dia sebutkan, tapi itu semua bisa disimpulkan dalam satu kalimat “Kamu itu terlalu lemah”.

“Lalu, musim dingin akan segera tiba, jadi tak banyak kebutuhan kita yang bisa diambil sekarang....”

Dari penjelasan Tuuli, kelihatannya nanti jika aku pergi ke hutan aku tidak akan mendapat kebutuhan yang aku inginkan meski sudah bersusah payah jalan ke sana. Aku sendiri pasti akan sangat kecewa.

Antara aku ambil risiko tak dapat apa-apa di hutan, atau aku ambil keputusan menyerah membuat kertas. Tak ada pilihan yang mudah aku lakukan.

“Kamu mau cari apa di hutan? Aku rasa tidak ada buah meryl yang tersisa.” Tuuli memiringkan kepalanya dan berusaha memikirkan alasan lain aku ingin ke hutan.

Karena buah meryl adalah bahan utama dalam pembuatan kejamas serbaguna sederhana, kami perah minyak dari buah itu sepenuhnya jadi tidak kami makan sedikitpun. Kami gunakan minyak dari buah itu untuk pemeliharaan rambut kami mulai kini dan seterusnya. Aku terima buah meryl yang diberikan, tapi aku lebih mementingkan buku dibanding tampilanku. Aku perlu serat dari tanaman untuk membuat kertas papyrus.

“Ummm, apa ada rumut (berserat yang mudah dipisahkan)?”
“Huh? Apa?” Tuuli membalas tanyaku dengan ekspresi bingung. Apa yang tadi aku sebutkan pasti keluar dalam bahasa Jepang.

Mmm, aku pikirkan masalah itu, dan sudah aku usahakan agar aku tanyakan itu dengan ucapan yang sederhana.

“.... Apa ada rumput lurus, dengan batang tebal? Aku ingin batang rumput itu.”

Tuuli pegang kepala dan mencari jawaban untuk pertanyaanku. Apa aku membuatnya ingat pada rumput tertentu? Aku tunggu dengan sabar dia menjawab.

Tak lama kemudian, Tuuli mengangkat bahunya.

“Aku tahu, aku bantu saja Ralph dan Lutz.”
“Apa? Kamu bantu mereka, bukan buat mereka yang bantu kita?”

Aku miringkan kepala karena bingung, yang mana itu malah mengejutkan Tuuli.

Setelah berkedip berkali-kali, dia berkata, “Sebelumnya kita pernah bahas soal ini bukan? Keluarga Ralph berternak ayam, jadi mereka butuh pakan hewan agar ternak mereka bisa makan selama musim dingin, kamu ingat tidak?”

Um... Tidak, aku tidak ingat. Tuuli katakan itu seperti ini adalah hal yang sudah seharusnya aku ketahui, jadi aku balas “Iya, aku ingat.” padahal aku abaikan ingatanku.

“Nah aku berpikir aku bisa coba minta ambilkan rumput pada mereka kalau misalnya aku bantu cari dan ambilkan mereka sayur dan kebutuhan dapur lainnya. Tapi musim banyak sayur dan tanaman tumbuh sudah lewat, jadi aku rasa tidak akan dapat banyak.”
“Tidak apa-apa. Makasih. Tuuli!”

Sama seperti biasanya, Tuuli berusaha jadi kakak yang diandalkan. Aku beruntung sekali punya dia.


Di hari selanjutnya, aku turun tangga bersama Tuuli dan meminta bantuan pada Ralph dan Lutz. Untungnya mereka mau membantu, tapi aku tidak bisa sepenuhnya bergantung pada orang lain. Jadi aku lanjutkan jalan untuk mencari rumput di sekitar.

Beruntungnya, ada rumput yang tumbuh di dekat sumur, di luar bagian pijakkan kaki dari batu. Aku mungkin bisa pakai rumput itu.

“Ibu, aku temani Ibu ke sumur.”
“Ara, kamu mau bantu Ibu?”
“Ah tidak. Bukan itu. Aku mau ambil rumput di sana.” Aku kasih lihat tas ranjang kecil yang dibuat Tuuli sebelumnya.
“Oke, semangat ya.”

Dengan jelas aku tolak untuk membantunya, tapi Ibu tetap izinkan aku ikut dengannya kesana, dia senang karena melihat aku bisa jalan-jalan dalam keadaan sehat ini.

Kali ini Ibu turun dengan membawa banyak pakaian kami, jadi aku naik turun tanpa digendong. Karena ini yang ketiga kalinya aku turun tangga sendiri, sudah pasti aku akan kehabisan nafas begitu sampai di bawah, itu membuat aku tidak dalam kondisi untuk segera cari rumput.

Aku beristirahat disebelah Ibu yang sedang menimba air dari sumur, begitu selesai dia kucek-kucek pakaian kami dengan kuat yang sudah dia berikan sabun binatang yang tidak menghasilkan busa sabun. Tuuli memang benar. Jika aku tidak berusaha jadi orang yang kuat, aku tak akan pernah bisa pergi ke hutan entah mau sebesar apa tekadku untuk mengumpulkan rumput di sana. Apa adakah cara agar tubuh ini bisa sedikit bertambah kuat?

“Eh halo, Myne.”
“Pagi Bi,” kataku. Aku kurang kenal dengan wanita kepala tiga ini, tapi namanya Carla dan berbicara dengan nada seperti kami sudah kenal lama.
“Oh, halo, Carla. Pagi. Hari ini bangun pagi juga.” Ibu senyum balik padanya dan melanjutkan mengobrol dengannya, berarti dia ini adalah orang yang dikenal oleh Myne. Tapi siapa ya? Aku cari dia dalam ingatanku, agar aku tidak terlihat seperti tidak kenal dengannya.

Ya dia memang ada dalam ingatanku, dia adalah orang yang aku kenal. Rupanya dia adalah ibu dari Ralph dan Lutz. Dia ini agak termasuk, ehm, wanita berisi yang bisa aku anggap dapat di andalkan.

Ummm.... Apa baiknya aku ucapkan padanya, “Terima kasih sudah mengurusiku selama ini?” Jangan, tidak usah, anak usia lima tahun tidak akan mengatakan hal semacam itu. Obrolan ringan macam apa yang biasa dilakukan oleh orang usia 30 tahunan dengan anak kecil tetangga mereka?! Seseorang, tolong bantu aku!

Carla mulai menimba air dari sumur dan mencuci pakaiannya tanpa memperhatikan aku padahal aku ingin sedang cari obrolan. Seperti yang aku duga, dia juga pakai sabun binatang itu.

“Nak keadaanmu hari ini baik-baik saja? Tak biasanya aku lihat kau keluar rumah.”
“Aku mau ambil rumput. Ralph dan Lutz bilang mereka butuh itu untuk ternak di rumahmu, Bi.”
“Ow, kamu lakukan itu untuk kami? Maaf sudah merepotkanmu.” Carla menyebutkan itu dengan mudah jadi cukup jelas bahwa dia itu tidak begitu sungkan kepadaku.

Para ibu tetangga kami, termasuk ibuku, berkumpul dan saling mengobrol tanpa henti. Tangan mereka tidak ada yang berhenti mau siapa yang sedang bicara. Aku cukup terkesan.

Tapi satu hal, sabun yang dipakai ini benar-benar bau. Aku merasa mual padahal hanya berdiam diri di dekatnya. Aku penasaran apa bisa aku perbaiki ini jika aku gunakan tanaman herbal yang harum? Atau mungkin aromanya akan tercampur dan membuat ini jadi tambah bau lagi?

Selagi aku memikirkan cara untuk mengatasi bau tidak sedap ini, aku berdiri untuk pergi dan mulai memungut rumput di sekitar. Aku ingin ambil rumput yang punya batang dan serat tebal, tapi aku kurang cukup kuat untuk menariknya dari tanah.

.... Aku tidak bisa lakukan ini dengan tangan kosong. Seseorang, aku perlu ariiiiit! Sudah jelas, tidak ada orang yang membawakan arit padaku, tangan lemahku juga tidak akan bertambah kuat dalam satu hari.

Okelah.... aku menyerah. Aku gantungkan semua harapanku pada Tuuli, Ralph, dan Lutz. Dalam waktu singkat aku menyerah cari dan ambil rumput dengan kekuatanku sendiri dan aku mulai pilih-pilih rumput yang punya batang dan daun basah untuk ternak ayam. Aku ini memang lemah tapi rumput yang aku cabut ini mudah.

“Myne, waktunya kita pulang.” Ibu menyelesaikan cuci baju dalam waktu yang singkat. Dia memanggilku, dalam keadaan memegang erat-erat keranjang isi baju kami. Aku baru mengumpulkan rumput sampai setengah keranjang kecil, tapi Ibu ada jadwal kerja hari ini, jadi aku tidak bisa memintanya untuk menungguku. Aku kembali ke rumah sambil membawa keranjang kecil.


“Sudah siap? Oke, ayo.”
“Ayo.” Aku sudah sering sekali sakit sejak hidup sebagai Myne, adakalanya Ibu mengambil cuti kerja demi merawat aku dan kebutuhan lainnya, jadi aku tidak tahu hal itu terjadi saat aku sedang sehat, soal hal dia akan menitipkanku di tempat pengasuh anak seharian penuh, tempatnya di rumah tetangga.

Itu masuk akal. Karena Tuuli tidak bisa pergi ke hutan jika aku ada di rumah.

“Myne, jadi anak baik ya saat Ibu kerja. Saya titipkan dia padamu, Gerda.”
“Iya. Kemarilah, Myne.”

Pengasuh bayi Gerda dititipkan juga anak lain selain diriku, jumlahnya lumayan juga. Kebanyakan anak yang dititipkan berusia balita yang sudah bisa jalan sendiri.

Dalam kota ini, begitu seorang anak menginjak usia lebih dari tiga dan punya stamina tubuh yang cukup, mereka akan pergi ke hutan bersama kakak atau kerabat mereka yang lebih tua atau mereka sudah cukup usia untuk membantu mengurusi rumah dan ditinggal oleh orang tua mereka. Dengan kata lain, keluargaku punya sedikit kepercayaan padaku bahkan sampai selevel anak usia balita yang tak bisa ditinggal sendiri di rumah.

Um, apa maksud dari semua ini?! Aku berdiri, dalam keadaan terkejut atas sedikitnya rasa percaya keluargaku padaku, aku melihat balita lelaki yang mengambil mainan dari bawah dan dia masukkan ke dalam mulutnya. Disebelahnya ada balita lelaki lain yang memukul dan membuat balita perempuan menangis.

“Hei, itu kan kotor! Nanti sakit perut kalau kau makan itu!”
“Aduh waduh.”
“Jangan pukul orang lain tanpa alasan. Kenapa kau pukul dia?”
“Astaga.”

Sudah cukupkan aduh waduh dan astaga darimu! Lakukan tugas kamu, Bibi Gerda! Padahal aku adalah anak yang dititipkan, tapi karena aku adalah yang terbesar di antara anak-anak yang lain akhirnya aku ikut mengurusi anak-anak yang lain.

Aku sedang menidurkan anak di tempatnya, aku memikirkan cara terbaik untuk membuat kertas papyrus dengan serat rumput yang segera didatangkan.

... Jujur saja, aku tidak ingat tata cara yang benar untuk membuat kertas papyrus. Aku harus bagaimana lagi, karena tak pernah muncul dalam ujian, aku tidak bisa disalahkan disini?

Kembali ke topik. Aku ingin pernah baca tentang kakunya kertas papyrus. Cara membuatnya yaitu dengan menyusun secara vertikal dan horizontal serat rumput tersebut, tapi hanya ada satu sisi saja yang bisa digunakan menulis dengan baik karena serat itu tersusun secara horizontal di bagian depan dan vertikal di bagian belakang. Ada kekhawatiran karena sulit dilipat, tapi ya tidak ada penjelasan soal pembuatan kertas papyrus dalam buku.

Masalah utamanya adalah itu, meski sudah aku lihat di gambar, tapi aku tidak tahu cara untuk membuat kertas papyrus. Aku tahu soal serat yang disusun bersebelahan, tapi tidak tahu cara agar serat itu tetap bersatu. Apakah perlu getah pohon agar tetap menempel seperti kertas washi? Atau mungkin ada cara tertentu agar bisa bersatu?

Aku mulai berpikir kembali pada apa yang aku baca dalam buku sejarah dan mencoba memeras segala informasi penting yang bisa aku dapatkan. Untuk sementara, aku berkesimpulan cara terbaik membuat ini dengan menganyam serat-serat rumput yang diawali dari serat yang cukup kuat. Harusnya itu sudah cukup agar jadi kertas yang bisa digunakan tanpa menyatukannya dengan lem.

Selama aku bisa menulis di sana, aku puas.


“Myne, Tuuli datang menjemputmu.”
“TUUUULIIII!”

Tuuli datang untuk menjemputku di waktu malam setelah dia kembali dari hutan. Aku terselamatkan. Syukurlah dia datang menjemput aku. Karena senang, aku lompat dan memeluknya.

Cara mengasuh Gerda bukanlah sebuah cara untuk mengurusi anak-anak, tapi dia lebih membiarkan anak-anak aktif selama mereka tidak melakukan hal yang membahayakan. Jika ada yang buang air, maka dia akan membersihkan dan mengganti popok mereka namun hanya sebatas itu saja pengasuhan yang dilakukan dia. Orang-orang mungkin akan menganggap aku aneh karena terlalu banyak menilai dan mengkritik secara berlebih.

Aku menunggu dan berusaha sesabar mungkin, berharap ada yang menjemputku dari sana, perasaanku penuh dengan keinginan segera pergi jauh dari tempat yang mengerikan itu.

“Kamu merasa kesepian, Myne? Aku rasa tidak aneh kamu merasa begitu karena sudah lama sekali sejak kamu dititipkan disana.”
“Kau bisa ikut kami ke hutan jika kau sudah sedikit bertambah kuat.”
“Semoga kamu bisa ikut kami ke hutan saat musim semi datang, Myne.”

Pada saat Tuuli menepuk-nepuk kepalaku dan mendengarkan Lutz dan Ralph yang berusaha menghiburku, aku sadar sekali bahwa aku harus jadi kuat, bagaimanapun usahanya. Aku harus fokus dan serius menanggapi hal itu. Dalam keadaan lemah seperti ini tidak memberi dampak baik padaku, malah sering memberiku masalah.

“Oh iya, kami bawakan kau serat tanaman yang kau inginkan.” Ralph mengambil satu dua batang tanaman itu dari keranjang dan memperlihatkannya padaku.

Begitu aku melihat itu, semua yang aku rasakan di tempat Gerda menghilang dari benakku. Buku lebih utama darinya, dan kertas mengartikan tanda-tanda kehadiran buku.

“Banyak sekali ya. Makasih! Um, aku juga coba kumpulkan sedikit rumput yang ada di sekitar sumur.”

Aku busungkan dada penuh rasa bangga, tapi mereka bertiga malah memberiku menepuk kepalaku pelan-pelan. Bukan hanya itu, Lutz juga sampai menambahkan “Kerja bagus” sambil menunjukkan wajah hangat padaku.

Um... Setidak berguna apa aku ini bagi orang-orang? Iya memang benar, aku tidak berbuat apa-apa, dan selalu tidak bisa membantu apa-apa, tapi rasanya mereka terlalu berlebihan.

Tuuli mengambilkan keranjang kecil itu agar bisa ditukarkan dengan batang tanaman yang mereka kumpulkan.

Oke. Waktunya aku buat kertas papyrus.





TLBajatsu

Minggu, 07 April 2024

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 7: Kertas : Tidak Bisa Didapatkan

 Volume 01

Chapter 7: Kertas : Tidak Bisa Didapatkan



Kaki aku selonjoran ke depan, tangan Ralph merangkul kakiku dan aku berpegangan ke pundaknya. Lalu akhirnya aku bisa melihat tembok bagian luar dan gerbangnya. Tembok bagian luar ini jadi penjaga kota, tembok ini benar-benar tinggi setelah aku lihat dari dekat. Tingginya sekitar bangunan tiga lantai yang ada di Jepang dan cukup tebal sekali temboknya. Terdapat empat gerbang yang dibangun di tembok bagian luar ini, tempatnya di bagian utara, timur, selatan, dan barat, lalu ada sejumlah prajurit juga di sana yang diberi tugas untuk memeriksa setiap orang masuk ke kota.

Kami sampai di gerbang utara dan bisa kami lihat ada prajurit yang berjaga di sana. Ada Ayah di antara mereka. Aku tidak tahu posisi pastinya, tapi Tuuli bisa mengetahui dia ada dimana. Di tempatkan di depan dadanya, Tuuli bawa barang yang dibungkus itu dan dia antarkan kepada ayah, dia melambai juga.

“Ayaaaaah! Ayah lupa bawa ini. Ini penting, kan?”

Ayah langsung berkedip terkejut saat Tuuli menyerahkan barang itu kepadanya dengan penuh senyuman. Mmm.... baik sekali. Kamu itu terlalu baik, Tuuli! Yang aku utamakan adalah menghindari Ibu marah kepada Ayah karena dia lupa membawa barang yang sudah Ibu usahakan buat dalam waktu sibuknya.

“Iya, ini memang penting. Makasih.... Eh, bentar, kamu tinggal Myne sendiri di rumah?!”
“Ah tidak, aku bawa dia kemari. Itu dia? Ralph gendong dia?”

Ayah, matanya agak bimbang tidak enak padaku karena tidak sadar ada aku di sini, dia letakan tangannya pada kepala Ralph.

“Terima kasih sudah menggendong dia, Ralph.”
“Kami sedang dalam perjalanan ke hutan, jadi bukan apa-apa.”

Ralph menurunkan aku, namun dia agak kesal atas cara Ayah mengusap-ucap rambutnya. Lalu dia ambil kembali barang yang dia titipkan di Fey dan Lutz.

“Makasih, Ralph. Lutz dan Fey juga, terima kasih.”

Setelah melihat Ralph dan saudaranya melewati gerbang dan berjalan ke arah hutan, Tuuli dan aku dibawa ke ruang tunggu yang disediakan dalam tembok bagian luar.


Tembok bagian luar ini cukup luas dan bisa dibangun ruangan dengan ukuran sembilan meter persegi. Ruang ini tidak begitu besar, tapi rupanya masih ada ruang tunggu lain dan ruang untuk prajurit yang berjaga di waktu malam. Dalam ruang tunggu yang kami tempati ada meja biasa, satu bangku, dan satu lemari penuh dengan rak.

Aku melihat sekitar ruangan ini, rasanya aku sedang berturis ke negara asing, lalu tak lama kemudian datang satu rekan kerja Ayah yang membawakan kami gelas dan teko air.

“Dua putri yang kau besarkan punya hati baik, pak.”

Memerlukan waktu sekitar dua puluh menit untuk anak seusia Tuuli agar bisa sampai di gerbang dari rumah, jadi aku terima air yang disediakan. Aku teguk air dari gelas kayu dan mengeluarkan suara lega.

“Haaah. Segar sekali. Akhirnya aku bisa istirahat kaki.”
“Kamu tidak jalan sendiri lama-lama, Myne,” kata Tuuli sambil mengerutkan bibirnya, ucapannya itu membuat orang-orang yang ada dalam ruangan ini tertawa. Aku balas dengan Hmm padanya, tapi karena aku digendong oleh Ralph, jadinya aku tidak bisa berbalas kata apapun padanya.

Aku minum segelas lagi, lalu masuk seorang prajurit ke dalam ruangan. Dia mengambil kotak rak di lemari dan segera pergi,  isi dari kotak itu mungkin perkakas atau alat lainnya. Dia seperti sedang terburu-buru, jadi aku perhatikan dia.

“Apa terjadi sesuatu, Ayah?”
“Mungkin kami kedatangan orang yang perlu penanganan khusus. Kamu tak usah pikirkan itu.”

Ayah seperti mengabaikan itu, tapi dari reaksi terburu-buru prajurit tadi membuat aku sedikit khawatir. Apa semuanya akan berjalan lancar? Karena ada satu prajurit yang terburu-buru seperti itu. Bukankah itu punya makna ada masalah terjadi?

Memiliki respons tajam sepertiku, Tuuli memiringkan kepalanya karena bingung juga tapi tidak ada rasa khawatir di wajahnya.

“Orang yang perlu penanganan khusus? Aku belum pernah bertemu orang seperti itu sebelumnya?”

Baginya yang sering melewati gerbang, Tuuli tidak bisa menebak seseorang yang datang dan membuat seorang prajurit bertindak sedikit berlebihan.

Ayah meraba-raba dagunya sebentar karena berusaha mencari kata yang tepat untuk menjelaskan ini.

“Aaah, benar juga. Kalian bisa tebak ada orang mencurigakan yang mungkin seorang penjahat atau orangnya tidak mencurigakan tapi ternyata dia adalah bangsawan luar wilayah kita, dan kami perlu informasikan soal kedatangannya itu kepada Penguasa Ehrenfest sebelum kami izinkan mereka lewat.”
“Wow...”

Rupanya mereka menilai orang dari cara mereka berpakaian. Tapi, aku rasa tidak ada salahnya jika di sini. Dalam dunia ini terlihat tidak punya jaringan komunikasi yang tersebar luas atau alat serupa lainnya. Para penjaga ini tidak punya sarana untuk cari informasi soal orang-orang yang datang dan minta izin untuk melewati gerbang.

“Jadi kami minta mereka untuk menunggu di ruang terpisah, nanti akan ditentukan apakah mereka boleh lewat atau tidak oleh para penanggung jawab gerbang.”

Aaah. Jadi itu alasannya ada begitu banyak ruang tunggu yang dibangun di gerbang masuk. Aku mengerti sekarang. Aku yakin ruang tunggu untuk bangsawan dan orang yang mencurigakan akan dibedakan mulai dari ukurannya dan perabot yang ada.

Aku sedang memikirkan itu namun terganggu oleh masuknya prajurit muda berambut coklat tua dan dia tampak ramah, matanya berwarna coklat muda, dia datang kemari sambil membawa kotak dan suatu kain yang digulung berbentuk tabung. Ekspresinya tidak menggambarkan suatu hal darurat yang perlu segera ditangani. Ayah benar soal itu, bahwa memang tidak ada hal serius yang terjadi.

Prajurit itu menaikkan tabung itu ke atas kotak dan menempatkan dua barang itu di tangan kirinya, dia berdiri tegak di hadapan Ayah lalu menggerakkan lengan kanannya untuk menepukkan kepalan tangannya pada sisi kiri dadanya sebanyak dua kali. Ayah berdiri dan memperbaiki posisinya agar tegak juga, dan melakukan hal tepukkan yang sama seperti pemuda itu. Mungkin itu semacam salam hormat antar prajurit di dunia ini.

“Otto, laporkan perkaranya?”

Aku mengeluarkan suara sedikit kagum setelah melihat Ayah menampilkan ekspresi seriusnya karena di rumah aku tidak lihat dia berekspresi seperti itu sebelumnya. Dia biasanya terlihat malas dan biasa-biasa saja tanpa ada perubahan seperti itu. Begitu dia jadi serius, dia terlihat sangat keren.

“Count Lowenwalt minta izin untuk lewat.”
“Bagaimana stempel izinnya?”
“Sudah kami periksa dan terkonfirmasi.”
“Baiklah, izinkan dia lewat.”

Otto memberi salam hormat sekali lagi dan kemudian dia berjalan untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan kami. Dia simpan kotak kayu itu di meja dan melebarkan gulungan tadi di sebelah kotak kayu. Gulungan itu terlihat halus seperti kertas dan aku bisa mencium suatu aroma khas yang menarik perhatianku.

... Perkamen? Aku masih belum yakin apakah itu perkamen atau bukan, tapi itu terlihat pasti seperti kertas yang terbuat dari kulit binatang. Aku terbiasa memakai kertas yang terbuat dari tanaman, tapi kertas zaman dulu biasa terbuat dari kulit binatang yang dikeringkan dan itu disebut perkamen. Huruf bahasa dunia ini tertulis di sana, tapi aku tidak bisa membaca kata-katanya.

Aku mulai memelototi itu selebar-lebarnya, Otto mengeluarkan botol berisi tinta dan pena buluh dari dalam kotak peralatan lalu dia mulai menuliskan sesuatu di atas perkamen itu.

AAAAAH! Dia menulis! Ada orang yang tahu cara menulis tepat di hadapanku! Dia adalah orang pertama yang tahu budaya dunia ini. Pastinya aku ingin sekali dia mengajari aku bahasa dan cara tulis bahasa dunia ini!

Ayah mengelus-elus rambutku dan bertanya “Ada apa?” begitu dia sadar aku memperhatikan gerakan tangan Otto yang sedang menulis.

Aku mengangkat wajah padanya dan menunjuk pada benda yang aku yakini adalah perkamen. Aku ingin tahu itu disebut apa dalam bahasa dunia ini agar aku bisa membahas itu di lain waktu.

“Ayah, Ayah. Itu apa namanya?”
“Itu perkamen. Kertas yang terbuat dari kulit kambing atau domba.”
“Dan cairan hitam itu apa?”
“Itu tinta. Dia sedang menulis pakai pena.”

Sudah aku duga. Aku berhasil menemukan tinta dan kertasku. Aku bisa membuat buku dengan dua benda itu, masalah terselesaikan.

Aku tahan rasa senangku yang bisa membuat aku melompat, aku satukan kedua telapak tanganku di depan dadaku dan melihat kearah Ayah.

“Um, Ayah. Boleh aku minta dibelikan itu?”
“Tidak bisa. Itu bukan mainan untuk anak-anak.”

Kekuatan penuhku dalam meminta telah sepenuhnya ditolak, padahal aku sudah gunakan sisi gemas dari seorang anak kecil.

Jelas pastinya, aku bukanlah seorang gadis kecil yang akan menyerah begitu keinginanku ditolak. Sewaktu aku masih jadi Urano, orang-orang pernah bilang aku adalah orang yang keras kepala dan pantang menyerah yang pernah mereka temui. Kinilah waktunya aku tunjukkan kepada Ayah betapa tangguhnya diriku ini dalam memperjuangkan perkara buku.

“Aku ingin bisa menulis seperti dia. Aku ingin kertas dan tinta. Aku mohooon?”
“Tidak, Ayah tidak bisa mengabulkan itu! Lagian juga, kamu tidak tahu cara menulis, Myne.”

Itu memang sebuah fakta, tidak ada gunanya memberi orang buta huruf sebuah kertas dan tinta. Justru dengan alasan itu, aku punya kesempatan emas untuk meyakinkan Ayah.

“Ya ajari aku. Aku ingin belajar menulis. Jadi akankah Ayah belikan tinta dan kertas jika aku belajar menulis?”

Jika pemuda yang jadi bawahannya ini bisa menulis, maka sudah pasti Ayah juga bisa menulis. Karena dia ini, semacam kapten di sini. Aku kira rasanya tidak mungkin ada orang yang bisa menulis bila di rumahnya saja tidak ada alat tulis dan semacamnya, tapi rupanya itu bagian dari kesalahpahamanku yang menguntungkan sekarang. Mimpiku bisa membaca buku di dunia ini mungkin akan terkabulkan dalam waktu dekat jika Ayah mengajariku cara baca.

Ketika itu aku sedang tersenyum lebar dan ceria, karena aku punya firasat dapat langkah besar menuju hal yang aku inginkan, aku dengar tawa di belakang. Aku berbalik untuk melihat siapa yang tertawa dan ternyata itu adalah Otto, yang selama ini mendengar percakapan kami, dia sedang menulis laporannya dan terhenti karena tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha! Mengajarimu menulis...? Heh, Kapten, Anda ini hampir tidak bisa menulis dengan baik, bukan?”

Saat aku mendengar itu. Aku merasa ada retakan yang melebar dalam hatiku. Aku sendiri bisa tahu senyumanku tadi kaku, seperti baru saja disiram air dingin satu ember.

“Ha? Ayah tidak tahu cara menulis?”
“Ayah bisa baca dan tulis, hanya sedikit saja. Tapi hanya sebatas pada bagian penting di kertas dokumen yang perlu Ayah isi. Hanya nama orang saja yang pernah Ayah dengar yang bisa Ayah tulis.”
“Oh....”

Aku perhatikan Ayah dengan mata dingin selama dia berasalan seperti itu dengan ekspresi wajah kesal dan jengkel. Kalau begitu faktanya, dalam penilaian di dunia asalku, dia itu tahu huruf abjad dan bisa menuliskan nama-nama temannya, kira-kira begitu ya? Tadi Otto bilang dia ‘hampir tidak bisa’, mungkin dia sekelas dengan anak kelas satu yang masih salah tulis bahkan nama orang.

“Sudah nak, jangan lihat ayahmu dengan ekspresi seperti itu.”

Otto, pelaku yang membuat aku jatuh respek pada Ayah berkata seperti itu dan segera mencondongkan badannya ke depan, untuk menegurku dengan ekspresi wajah yang agak khawatir. Dia lalu berbicara lagi, menjelaskan tugas macam apa yang dilakukan oleh para prajurit, dia seperti sedang membela Ayah.

“Tugas prajurit adalah menjaga kedamaian dalam kota, tapi saat berhubungan dengan hal penting seperti menangani bangsawan, maka itu akan jadi tugasnya kesatria yang mengurusi segel dan dokumen izin masuknya. Jadi cukup dengan melaporkan secara lisan saja bila ada perkara yang tidak begitu penting, jarang sekali ada tugas yang membuatnya untuk membaca. Bisa menuliskan namanya sendiri saja sudah lebih dari cukup.”

Ayah membusungkan dadanya dengan penuh bangga, mood hati Ayah kembali tinggi setelah menerima bantuan dari Otto. Tatapan dingin dariku rupanya cukup berdampak besar padanya.

“Bahkan keadaan orang di desa lebih buruk lagi. Biasanya hanya kepala desa yang bisa membaca, jadi ayahmu ini sudah lebih hebat dari mereka.”
“Iya, ayahku memang hebat. Aku ingin kertas dan tinta ini. Jadiiiii aku mohooon, belikan aku semua ini?”

Jika dia benar-benar hebat, maka dia seharusnya menunjukkan bukti hebatnya itu dengan memberikan seratus lembar kertas pada putri cantiknya.

Tapi permintaanku ini diterima Ayah dan dibalas dengan langkah mundur karena rasa takut.

“Ma-mana ada orang yang mau membuang gaji utuh selama satu bulan untuk membelikan anak mereka satu lembar kertas?”

Huh, bentar, apa?! Gaji utuh satu bulan? Se-semahal apakah satu perkamen ini?! Aku sekarang bisa paham kenapa dia ragu belikan semua itu untukku. Itu juga masuk penjelasan mengapa tidak ada satu kertas pun dalam rumah kami atau mengapa aku tidak bisa menemukan toko buku kemana pun aku pergi. Satu perkamen saja sudah mahal sekali bagi rakyat. Keluargaku sudah berusaha sebisa mungkin punya penghasilan yang cukup untuk bertahan hidup, tidak mungkin ada kesempatan penggunaan gaji penting itu untuk kertas apalagi buku.

Aku menurunkan pundakku, karena depresi, lalu Otto mengelus-elus rambutku.

“Dari awal juga, aku rasa tidak ada toko mana pun yang menjual perkamen untuk rakyat. Kertas digunakan oleh para bangsawan, kantor pemerintah, dan rakyat kaya yang punya koneksi dengan bangsawan. Kalau misalnya hanya ingin belajar menulis, mungkin kau bisa gunakan papan tulis kapur? Aku bisa berikan punyaku yang dulu aku pakai.”
“Sungguh? Aku senang sekali!”

Aku langsung mengangguk atas janji memberiku papan tulis kapur yang dulu dia gunakan. Salama itu juga, aku mengusahakan diri untuk meminta dia mengajari aku cara menulis.

Terima kasih banyak, Pak Otto! Aku akan lebih senang lagi bila bapak mau mengajari aku menulis!”

Selama aku tersenyum lebar, Ayah melihat aku dan Otto dengan ekspresi kecewa dan menyedihkan pada dirinya sendiri, tapi sengaja aku tidak sadari itu. Aku begitu bersemangat karena akan mempelajari bahasa dan mendapat papan tulis punyaku sendiri, tapi hal yang paling aku inginkan tetap buku dan kertas untuk membuat buku.

Karena pada akhirnya, tak ada yang bisa aku amankan di papan tulis kapur itu. Karena penggunaannya akan seperti papan tulis pada umumnya, begitu selesai menulis maka akan dihapus. Sangat sempurna untuk belajar menulis, tapi tiada bandingannya dengan buku.

Tapi, soal fakta tidak ada toko yang menjual kertas untuk rakyat benar-benar diluar dugaanku. Bagaimana caranya aku bisa buat buku tanpa kertas? Atau dalam kata lain, apa yang harus aku lakukan jika tidak bisa mendapatkan kertas? Soal itu hanya ada satu jawaban: aku perlu membuatnya sendiri juga.

Nggggh, perjalanan agar aku bisa punya buku masih sangat jauh!





TLBajatsu

Honzuki no Gekokujō - Putri Seorang Prajurit Light Novel Bahasa Indonesia Volume 01 - Chapter 6: Para Anak Lelaki Tetangga

 Volume 01

Chapter 6: Para Anak Lelaki Tetangga



Ibu pergi bekerja, meninggalkan Tuuli dan aku di rumah. Info yang bisa aku dapatkan hanya berasal dari Tuuli, karena dia yang selalu bersamaku.

“Tuuli, apa kamu tempat beli (kertas) dimana?”
“Tadi tanya apa, Myne?”
“Aku tanya (kertas).... Ah!”

Tuuli memiringkan kepalnya, rambut kepangnya ikut bergerak, aku merasa pernah melihat postur yang dia tampilkan sekarang. Dia menunjukkan ekspresi yang sama ketika dia mendengar kata yang aku sebutkan dalam bahasa Jepang, pasti dia tidak mengerti lagi. Aku tidak tahu cara mengucap kata “kertas” di dunia ini.

Oh tidak....! Aku harusnya tanya pada pria penjual alat itu soal kertas itu apa!

“Um, Tuuli, jadi kamu tidak tahu apa itu (kertas)...?”
“Maaf. Aku tidak tahu. Tapi ucapanmu terdengar aneh dan lucu.”

Pundakku turun dan aku menghela nafas kecewa. Sebenarnya, cari toko yang jual buku bukan satu-satunya masalah yang aku hadapi. Aku juga tidak tahu dimana tempat beli pena atau pensil. Melihat dari keadaan rumah dan zaman yang ada di kota ini, aku ragu aku akan menemukan toko yang jual pena tipe bolpoin atau pensil mekanik. Ada kemungkinan juga pensil masih belum ditemukan.

Kalau begitu, apa, alat tulis macam apa yang aku pakai? Dan apa cara yang perlu aku lakukan agar mengusai alat tulis itu? Mau ada atau tidak, halangan yang sering aku hadapi adalah kurangnya uang dan sedikitnya tenaga tubuh yang aku miliki untuk mencari bahan-bahannya. Perkara ini tidak akan mudah aku atasi.

“Aaaah! Aku tidak mengira Ayah lupa bawa ini?”

Aku mendengar Tuuli teriak di dapur jadi aku lihat apa yang jadi masalah. Dia sedang mengangkat barang yang sudah dibungkus... isinya tidak aku ketahui.

Seingatku, Ayah sedang mengantuk dan meminta siapkan sesuatu pada Ibu, “buatkan untukku sekarang, nanti kerja mau dibawa,” yang mana pemintaannya itu agak membuat Ibu sedikit kesal karena Ibu setiap paginya dipenuhi dengan kesibukan dan Ayah tidak bilang dari kemarin. Ibu sudah buatkan yang dimintanya dalam waktu sibuknya itu dan Ayah lupa untuk membawanya. Aku merasa aura dingin mengalir di darahku begitu memikirkan marah macam apa yang akan dikeluarkan Ibu begitu dia tahu ini.

“Tuuli, Ibu pasti akan marah soal ini, betul kan? Kamu sebaiknya antarkan ini ke Ayah?”
“Kamu sepemikiran juga...? Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian, Myne...”

Dia pergi untuk cuci piring, aku menyelinap keluar dari kamar dan dia temukan aku dalam keadaan menangis. Aku pergi bersama Ibu ke pasar dan aku pingsan di sana. Rasa percaya keluargaku padaku telah jatuh ke bawah dan rupanya Tuuli tidak berpikir lagi untuk meninggalkan aku di rumah sendirian.

“Tapi, nanti Ayah yang kena masalah jika tidak bawa ini?”
“... Myne, apa kamu bisa jalan lama sampai gerbang?”

Tuuli putuskan untuk mengajakku daripada meninggalkan aku di sini sendirian. Aku sedikit khawatir, mengingat kejadian yang aku alami di pasar, tapi aku lebih takut lagi marahnya Ibu nanti.

Aku kepalkan telapak tanganku dan mengangkatnya ke atas untuk menunjukkan tekadku.

“A-aku akan coba sebisanya.”
“Ok, ayo.”

Aku pakai baju berlapis lagi, sama seperti aku pergi belanja bersama Ibu, membuat aku jadi manusia bungkus berlapis-lapis. Baju berlapis ini tidak untuk tampil menarik, ini merupakan usaha agar aku terjaga dari suhu dingin. Sebagai tambahan, aku kasih tahu pakaian apa saja yang aku pakai, dua pasang pakaian dalam, dua baju dari wol, satu sweter wol, dua celana panjang dari wol, dan dua pasang kaus kaki wol. Ketika pergi keluar rumah, aku pakai semua itu.

“Tuuli, berat sekali aku sulit jalannya.”
“Iya, tapi kamu harus pakai semua itu agar tidak ada celah angin masuk. Siapa tahu ada angin yang lewat tanpa kita sadari? Kamu itu mudah kena demam, Myne, jadi harus kamu pakai semaunya.”

Aku punya harapan Tuuli akan sedikit beri aku ruang daripada Ibu, tapi rasa tanggung jawabnya tinggi yang membuatnya mencegah aku keluar rumah tanpa pakaian berlapis itu agar memastikan aku tetap dalam keadaan hangat dan aman dari penyakit. Akhirnya aku menyerah dan pakai semua itu, tapi soal aku sulit gerak itu benar.

Tuuli tidak pakai berlapis seperti aku karena tubuhnya yang sehat. Selain itu dia punya stamina yang banyak berkat dia sering pergi ke hutan bersama anak-anak lain dan dia juga diberi tugas dari Ibu untuk membantu keperluan rumah yang membuatnya sering pergi ke kota.

Baik stamina dan kelincahan, aku kekurangan keduanya. Yang aku miliki hanyalah beban berat dari pakaian yang aku kenakan.


“Kamu masih kuat, Myne?”
“Haaah, haaah.... Jika, kita jalannya, pelan saja....”

Sama seperti sebelumnya, aku kehabisan nafas begitu sampai di bawah menuruni tangga. Jadi, aku jalan sesuai kecepatanku. Aku hanya akan mempersulit Tuuli jika memaksakan diri jalan cepat dan berakhir pingsan di jalan. Cukup penting untuk membangun rasa percaya darinya secara perlahan-lahan.

... Tapi sungguh sulit, berjalan di trotoar batu ini.

Jalanannya cukup bergejolak dan aku bisa saja jatuh jika tidak lihat kemana aku memijak. Aku pegang tangan Tuuli dan agar aku dibimbing arah jalannya dan bisa fokus melihat pijakkanku.

“Huh? Halo, Tuuli! Sedang apa di sini?”

Aku angkat kepala untuk melihat ke depan karena ada suara anak laki-laki dari kejauhan. Tiga anak laki-laki lari menghampiri kami, mereka menggendong keranjang dan juga bawa busur serta anak panahnya. Warna rambut mereka seperti kombinasi pelangi, mulai dari merah, emas dan merah jambu, secara berurut. Rasanya agak sulit memalingkan pandangan dari rambut kepala mereka.

Abu-abu muda adalah warna pakaian mereka, terdapat noda tanah dan sedikit makanan yang menempel. Desain pakaian yang semakin usang menandakan pakaian yang mereka kenakan ini adalah pakaian pemberian, dan wajah mereka yang terbilang cukup sama juga jadi penanda mengapa pakaian mereka serupa, aku bisa menebak kami sama-sama miskin.

“Ah, Ralph! Hei Lutz, Fey!”

Tuuli cukup dekat dengan mereka, aku anggap Myne pernah menghabiskan waktu bersama mereka waktu dulu. Aku sentuh keningku dan berpikir dalam, mencari dalam ingatannya. Mmm... Ah, itu ada mereka. Huh. Rupanya mereka tetangga kami.

Ralph seumuran dengan Tuuli. Dia yang berambut merah dan paling tinggi di antara mereka bertiga. Dia seperti ketua bagi para anak-anak lain, banyak dari mereka yang menganggap dia sebagai kakak mereka.

Fey juga seumuran dengan Tuuli. Dia yang berambut merah jambu dan punya wajah paling menggambarkan seorang tukang jahil di dunia ini. Mungkin karena punya perasaan takut menyakiti Myne, gadis lemah dan sering sakit, secara tidak sengaja, dia selalu biasa mengambil jarak darinya. Myne tak punya banyak ingatan soal dia.

Lutz adalah adiknya Ralph dan yang berambut pirang emas. Kami seumuran. Dia berusaha bersikap seperti kakak yang tegas di hadapan Myne, yang mana aku menganggap itu tindakan yang menggemaskan. Seperti berusaha terus berjinjit agar terlihat tetap tinggi.

Sudah jadi keseharian Tuuli untuk pergi ke hutan bersama mereka, dan rupanya mereka pernah membawa Myne ke sana beberapa kali. Ingatan soal itu lebih jelas dibanding ingatan yang lain.

Selama aku mencoba mengingat-ingat itu, Tuuli sedang seru berbicara dengan Ralph.

“Ayah aku lupa bawa ini, jadi kami sedang berjalan ke gerbang. Apa kalian bertiga lagi perjalanan mau ke hutan, Ralph?”
“Ya. Ayo kita jalan bareng sampai gerbang.”

Tersenyum lebar berbicara dengan Ralph membuat jelas padaku bahwa bagi Tuuli cukup terbebani mengurusiku. Masuk akal sekali, karena pergi ke hutan pastinya lebih menyenangkan daripada urus aku di rumah.

Um... Maafkan aku sudah jadi adik yang kurang baik. Tapi demam aku mulai menghilang akhir-akhir ini, jadi aku rasa kamu bisa pergi keluar sebentar lagi. Pergi keluar yang aku maksud, aku ingin kamu bantu aku cari toko yang jual kertas, jika kamu masih mau berbaik hati padaku.

Laju jalan Tuuli bertambah cepat begitu dia berjalan bersama dengan Ralph dan saudara-saudaranya. Karena kami jalan sambil bergandengan tangan, dia akhirnya menarik aku yang berada di belakangnya dan aku tersandung jatuh.

“Oh tidak!”

Tuuli berhenti di hadapanku, aku tidak sepenuhnya jatuh, aku berhasil bertahan jatuh berdiri setengah lutut.

“Maaf, Myne. Kamu tidak apa-apa?”
“... Uh iya.”

Aku tidak terluka, tapi rasanya sulit berdiri lagi setelah jatuh sampai tanah. Aku ingin tetap dalam keadaan ini dan lanjut tidur. Rasanya sesak sekali untuk bernafas, pikirku sebelum akhirnya ada tangan yang diulurkan padaku.

“Hei, Myne. Mau aku gendong?”

... Lutz, baik sekali kau! Aku coba cari di ingatan Myne dan aku lihat dia selalu diperlakukan seperti anak kecil oleh Ralph dan Fey, jadi dia selalu berperilaku seperti kakak tangguh dihadapan Myne, padahal umur mereka sama. Dia akan bawakan barang bawaan Myne, melindungi Myne disaat sedang lelah, dan segala tindakan lainnya yang membuat dia seperti pria gentel yang punya masa depan cerah. Perlu diketahui kalau aku itu lebih familiar dengan orang berambut warna pirang bukan merah jambu atau hijau, jadi berada disekitarnya sudah membuatku tenang.

“Myne, kau masih sakit, bukan? Pastinya kau pusing. Sini aku bantu dengan menggendongmu.”

Aku menghargai niat baik Lutz. Tapi tetap saja aku punya ukuran tubuh lebih kecil darinya, padahal dia masih seumuran denganku. Aku merasa tidak enak digendong olehnya, karena aku khawatir bila dia jatuh karenaku. Aku masih memperdebatkan terima atau tidak bantuan darinya tapi tak lama Ralph menyela kami dengan helaan nafas dan menurunkan bawaannya.

“Kita tak akan sampai hutan jika Lutz yang menggendongnya. Ayo, Myne, akan aku gendong kau. Lutz, bawakan busurku. Fey bisa bawakan keranjangku.”
“Ralph...”

Lutz pelototi Ralph dengan tatapan sedikit frustrasi. Mungkin dia merasa niat baiknya disingkirkan.

“Kamu yang pertama khawatir soal aku, Lutz. Kamu baik sekali. Terima kasih. Aku merasa senang.”

Aku tersenyum lebar dan memberi Lutz jabat tangan sebentar dan ucapan terima kasih tadi.

Lutz, kelihatan puas karena melihat ada orang yang menyadari hal baik yang akan dia lakukan, dia tersenyum malu dan pelan-pelan mengambil busur Ralph.

“Yuk, naik.”
“Uh iya. Makasih, Ralph.”

Aku jalan mendekati Ralph dan merangkang naik ke punggungnya, yang lebih besar dari punggung Tuuli. Rasanya malang sekali saat aku tahu membuat seorang anak laki menggendongku, tapi bagi gadis kecil sepertiku tidak perlu khawatir soal rasa malu. Tak perlu!

Aku sudah naik di punggung Ralph dan dia mulai melangkah maju dengan kepala tegak. Pandangan kota yang aku lihat bertambah tinggi sekitar empat puluh sentimeter dari tinggi tubuhku. Untuk lebih spesifiknya, sebelumnya aku habiskan waktu melihat jalan batu yang aku lewati, tapi sekarang aku bisa melihat ke depan dan melihat banyak bangunan dari kejauhan. Bukan hanya itu, karena dia melangkah lebih cepat dariku, jadi bangunan yang kami lewati lebih cepat terjadi.

“Wow, tinggi sekaliii! Cepat jugaaa!”
“Jangan terlalu girang, oke? Nanti kau tambah sakit lagi.”
“Uh iya. Aku akan hati-hati.”

Tapi luar biasa juga, anak laki yang ditugaskan bawa kayu bakar ke rumah berakhir punya banyak tenaga. Dia punya banyak otot padahal diumurnya yang masih kecil. Tidak ada anak-anak sekolah dasar di Jepang yang punya postur tubuh seperti dia. Tapi masih saja bukan suatu hal yang bisa dibandingkan karena perbedaan lingkungan hidup dan keturunan yang membedakan kami.

Itu hal yang penting juga karena tidak aku bandingkan kota ini dengan tempat-tempat yang ada di Jepang. Aku tidak seharusnya menilai orang-orang ini berdasarkan tampilan kumuh selokan kota ini, atau perilaku keledai sini yang buang kotoran di jalanan kota ... H-hei, bukan berarti aku rela melihat hal-hal yang menjijikkan ini! Yang terjadi di sini sangat berbeda jauh dari apa yang aku lihat di Jepang yang merupakan hal menarik bagi mataku!

Kami pastinya tadi melewati area pengrajin, berbeda dengan toko dekat pasar, aku tidak bisa melihat barang dagang di lantai satu toko. Toko dekat pasar didesain agar barang dagang mereka bisa dilihat dari luar, toko area sini hanya memperlihatkan lambang atau gambar barang yang mereka jual di atas pintu toko, tidak ada yang lain atau bagian depan yang terbuat dari kaca jendela. Bukan hanya itu, semua bangunan di sini punya desain dan warna yang sama. Karena jika bukan karena itu, kedua mata aku tidak akan terpancing untuk melihat kesana karena bagian tembok kotor yang kena debu jalanan. Debunya yang terlalu mencolok, bukan salah mataku!

“Ralph, kau masih kuat? Myne tidak berat, kan?” tanya Tuuli, sambil melihat baik-baik Ralph dan aku, wajahnya kelihatan penuh dengan rasa khawatir.

Ralph sedikit putar kepala sambil mengatur-atur posisi aku diam di pundaknya lalu dia seperti melihat kearah yang begitu jauh.

“Masih aman. Myne ini kecil dan ringan sampai kurang kerasa beratnya. Kau pastinya akan repot jika kau bawa dia jalan dan kambuh lagi sakitnya?”

Menilai dari ekspresi malu dari wajah dan nada bicaranya, rupanya dia ingin membantu Tuuli. Atau ada kata lainnya, dia ingin Tuuli merasa terbantu atas tindakannya.

Ohoho, lelaki muda Ralph. Kau lagi incar Tuuli, kesayanganku? Memang ada yang bilang jika ingin jatuhkan sang jendral, maka jatuhkanlah kudanya terlebih dahulu. Mmm, tak masalah jika aku dianggap jadi kuda itu. Lanjutkanlah, tumbuhlah kisah asmara muda kalian! Jelas sekali, itu hanya perasaanku saja.

Tapi tak lama kemudian, Ralph menyentuh rambut kepang Tuuli dan mencium aromanya, dan berkata, “Tuuli, entah kenapa aku, merasa kau ini harum sekali.”

Sedang apa kau, jadi protagonis di manga shoujo?! Aku tak bisa berkata ini jadi aku usik ini dalam hati. Karena ya, Tuuli membalas ucapannya dengan berkata, “Sungguh? Terima kasih...” sedangkan wajahnya memerah. Siapa yang bisa salahkan aku?

Mereka ini masih kecil jadi aku ragu jika mereka saling jatuh cinta, tapi dalam dunia tanpa buku sebagai bahan hiburan, aku ingin kalian izinkan aku punya sedikit fantasi seperti itu dalam kepalaku. Aku belum pernah punya pengalaman hubungan cinta dalam hidupku padahal aku ini sebentar lagi lulus dari perkuliahan, dan dihadapanku ada Tuuli, dengan umur enam tahun memamerkan kisah asmara di masa muda. Aku tidak bisa apa-apa selain sedikit berfantasi soal itu dan menghibur diri.

Aku tahu apa yang orang-orang pikirkan, tapi jangan diumbar. “Mungkin kau itu akan lebih dikenal banyak pria jika tidak terus menghabiskan waktu membaca buku dan menjalani hidup dalam fantasi belaka selamanya.” Keluargaku dan tetanggaku sendiri Shuu sudah mengatakan hal yang sama padaku. Aku tidak mau dengar itu. Dasar Shuu berotak udang. Bodohnyaa.

Selagi aku mengingat masa-masa mengecewakan dalam hidupku sebagai Urano, kisah cinta masa kecil Tuuli dan Ralph berubah jadi kisah lebih lanjut yaitu cinta segitiga.

“Iya, betul. Kau memang harum.”
“Coba aku cium aromanya.”

Fey dan Lutz, keduanya membungkuk ke arah rambut Tuuli dan mencium aroma rambutnya. Jika mereka ini anak laki dan gadis yang berusia cukup, maka sudah dipastikan tidak jauh lagi mereka akan berusaha untuk memenangkan hati Tuuli.

“Rambutmu halus juga. Kau apa kan?”

Eheheheh. Benarkan? Ya, benar sekali. Atas kepuasan mereka yang tampak di wajah, aku mengangguk berkali-kali.

Aku sedang dalam proses memperbaiki tingkat kebersihan dalam rumahku. Aku keringkan bunga-bunga yang punya aroma harum dan aku masukkan itu ke dalam kotak tempat kami menyimpan baju, aku minta Ibu didihkan airnya sebelum dia gunakan untuk memasak, aku seka badan Tuuli ketika kami sedang mandi bersama, dan aku sisir rambutnya setelah dia basuh pakai kejamas. Kelihatannya buah matang hasil kerja kerasku mulai bermunculan.

Sekarang ini aku mulai terbiasa mencium bau tidak sedap yang ada di kota ini, tapi tetap saja aku masih merasa tidak kuat mencium bau badan Ralph dan saudaranya. Aku tidak bisa bilang itu secara terang-terangan karena keadaanku sedang digendong oleh Ralph, tapi rasanya aku ingin sekali membuat mereka ini mandi pakai sabun. Aku cukup kecewa karena di rumah kami hanya ada sabun binatang dan digunakan untuk keperluan bersih-bersih perabot rumah dan pakaian, tidak ada sabun tanaman yang digunakan untuk kebersihan tubuh dan beraroma harum setelah pemakaian. Aaah.... ingin sekali aku punya sabun harum.

Ketika aku sedang memimpikan dunia tanpa bau tidak sedap, Lutz menyentuh rambutku. Dia menghirup nafas dalam-dalam, seperti dia mencium aroma rambut Tuuli.

“Rambutmu harum juga, Myne.”

Lutz tersenyum ramah dan melihatku secara langsung dengan matanya yang berwarna hijau giok.

Oh... Oh tidak! Lutz punya kombinasi warna yang luar biasa cocok! Rambut pirang emas dan mata hijau giok, itu saja sudah membuat dia ini super keren, pria ganteng!

“Lalu, kamu kelihatan lebih cantik, aku bisa melihat wajahmu lebih baik lagi karena kamu ikat sedikit rambutmu kebelakang.”

Hyaaah! Satu pukulan terakhir! Dia ini masih kecil, tapi rasanya aku malu sekali! Aku tahu dia tidak berkata itu karena sengaja, tapi astaga! Tolonglah, jangan! Aku mungkin sudah berumur, tapi belum pernah dapat pengalaman seperti ini! Aku tidak tahu harus berbuat apa!

Hanya aku saja yang terdiam disana karena kebingungan. Yang lain sedang dalam diskusi mau melakukan apa begitu mereka sampai di hutan, atau membicarakan tinggal tersisa waktu berapa lama lagi sebelum salju turun. Lalu ada pembicaraan soal Lutz yang semakin mahir dalam memanah dan itu membuat aku semakin takut. Tuuli memberinya semacam apresiasi, tapi aku bisa diam saja karena terkejut. Hatiku masih berdetak.

... Apakah hal itu sangat normal bagi anak usia lima tahun yang hidup di sini? Um, ada apa dengan dunia ini? Aku gadis perawan Jepang yang baik dan berhati pemalu, tapi ini sudah berlebihan bagiku!





TLBajatsu